Indonesia, negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, memiliki peran strategis dalam dinamika lingkungan global. Sebagai rumah bagi hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia dan ekosistem laut yang dinamis, Indonesia menyandang predikat sebagai pusat keanekaragaman hayati.
Namun, negara ini juga menghadapi tantangan berat sebagai salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar akibat deforestasi dan degradasi lahan gambut.
Ketergantungan ekonomi Indonesia pada sektor seperti kelapa sawit, batubara, dan perikanan memberikan tekanan besar pada lingkungan. Kekayaan ekologi dan tekanan lingkungan membuat Indonesia harus memilih antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan dengan potensi menjadi pemimpin aksi global.
Posisi strategis Indonesia
Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Hutan hujan tropis mencakup hampir setengah dari daratannya, menjadikan Indonesia rumah bagi berbagai spesies unik. Selain itu, Indonesia mengelola wilayah Segitiga Terumbu Karang, yang memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia.
Hal ini menempatkan Indonesia dalam peran penting untuk melindungi lingkungan global.
Di sisi lain, kekayaan alam ini dihadapkan pada tantangan besar. Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, eksportir utama batubara, dan pemain penting dalam perikanan.
Meskipun mendukung perekonomian, sektor-sektor tersebut ini juga memberikan tekanan berat pada lingkungan. Deforestasi dan penebangan liar, misalnya, membuat Indonesia menjadi salah satu penghasil emisi karbon terbesar di dunia, dengan angka mencapai 709 juta ton CO2 atau 1,8 persen dari total emisi global (Global Carbon Project, 2022).
Sebagai negara maritim, posisi strategis Indonesia juga ditandai oleh Selat Malaka, rute pelayaran penting dunia. Wilayah ini memberikan pengaruh besar bagi Indonesia dalam kebijakan lingkungan regional, seperti upaya konservasi laut melalui Inisiatif Segitiga Terumbu Karang.
Terkait dengan posisi strategis, Indonesia juga dihadapkan pada tantangan, termasuk penangkapan ikan ilegal dan pencemaran laut.
Antara komitmen dan realitas
Indonesia telah menunjukkan komitmennya terhadap tata kelola lingkungan global melalui partisipasinya dalam perjanjian dan inisiatif internasional. Negara ini telah meratifikasi Perjanjian Paris dan berjanji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada tahun 2030 atau 41 persen dengan dukungan internasional.
Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC) menekankan pengurangan deforestasi, pemulihan lahan gambut yang terdegradasi, serta perluasan sumber energi terbarukan.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan kontradiksi. Perekonomian Indonesia sangat bergantung pada industri ekstraktif yang sering kali bertentangan dengan tujuan konservasi.
Misalnya, perluasan perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan hilangnya habitat hutan hujan yang kritis sehingga negara ini mendapat kritik global. Meskipun restorasi lahan gambut menjadi prioritas, penegakannya juga tidak konsisten, dan kegiatan ilegal terus berlanjut.
Selain itu, kebijakan iklim Indonesia sering kali terkendala masalah tata kelola domestik. Korupsi, kerangka regulasi yang lemah, dan kewenangan yang tumpang tindih antara pemerintah nasional dan daerah menghambat implementasi yang efektif.
Langkah untuk menyeimbangkan pembangunan dan konservasi lingkungan semakin rumit karena problem kemiskinan dan pertumbuhan populasi yang meningkatkan permintaan akan lahan dan sumber daya.
Diplomasi lingkungan sebagai strategi
Indonesia menggunakan kekayaan alamnya sebagai alat diplomasi dalam hubungan dengan negara lain. Salah satunya, minyak kelapa sawit. Sebagai produsen terbesar di dunia, Indonesia sering mendapat kritik dari negara Barat terkait dengan deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati akibat produksi minyak kelapa sawit.
Untuk mengatasinya, Indonesia memimpin inisiatif seperti Dewan Negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit (CPOPC) untuk mempromosikan peraturan yang lebih adil dan praktik berkelanjutan. Inisiatif ini juga menyoroti peran minyak kelapa sawit dalam mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan mendukung pembangunan pedesaan (Kemlu, 2018).
Di tingkat regional, Indonesia berperan penting dalam konservasi laut. Melalui Prakarsa Segitiga Terumbu Karang, Indonesia menunjukkan komitmen untuk melindungi ekosistem laut dengan keanekaragaman hayati tinggi.
Program ini mendorong kerja sama dengan negara tetangga untuk mengatasi masalah seperti penangkapan ikan berlebihan dan pencemaran laut. Komitmen ini menegaskan kepemimpinan Indonesia dalam menciptakan solusi bersama untuk tantangan lingkungan.
Namun, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Ketergantungan pada batubara sebagai sumber energi utama menghambat komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sesuai dengan Kesepakatan Paris. Meski ada langkah dalam pengembangan energi terbarukan, transisi dari bahan bakar fosil masih tertinggal.
Indonesia memiliki peluang besar untuk mempercepat transisi ke energi terbarukan. Langkah ini dapat memperkuat posisinya sebagai pemimpin transisi energi hijau di Asia Tenggara. Untuk mencapainya, Indonesia perlu mengatasi kendala seperti tata kelola yang tidak efisien dan menarik investasi asing yang mendukung keberlanjutan.
Dengan menyeimbangkan prioritas ini, Indonesia dapat memperkuat perannya di tingkat global sambil memastikan pembangunan yang berkelanjutan.
Kesuksesan Indonesia untuk menyeimbangkan prioritas yang saling bertentangan ini akan menentukan kapasitas Indonesia dalam memperkuat kepemimpinan lingkungan global sambil mengamankan tujuan pembangunannya.
Sebagai penutup, geopolitik lingkungan Indonesia menggambarkan kompleksitas dalam dilema pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan yang tak luput dari pengaruh global.
Sebagai pusat keanekaragaman hayati dan ekonomi yang bergantung pada sumber daya, Indonesia menghadapi tantangan dan peluang yang unik.
Langkah-langkah Indonesia, baik dalam memerangi deforestasi, beralih ke energi terbarukan, atau memimpin upaya konservasi regional, tidak hanya akan membentuk masa depannya, tetapi juga memengaruhi tata kelola lingkungan global.
Indonesia harus menerapkan pendekatan inovatif dan mendorong kerja sama untuk mencapai tujuan lingkungan dan geopolitik. Dengan menggunakan posisi dan kekayaan alamnya, Indonesia seharusnya dapat hadir sebagai pemimpin global dalam keberlanjutan serta menjadi contoh bagi negara lain. (*)
Abdul Kodir, Dosen Universitas Negeri Malang
Artikel ini pertama kali terbit di rubrik opini Kompas.id. https://www.kompas.id/artikel/indonesia-di-persimpangan-geopolitik-lingkungan




