Kita khususnya umat Islam Indonesia, lebih khusus lagi jamaah Nahdliyin sedang diuji baru-baru ini. Ramainya pemberitaan terkait kunjungan lima jamaah NU ke Israel beberapa waktu lalu jelas sedikit banyak mengoyak ketenangan kita, mengingat konsistensi kita selama ini untuk senantiasa memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
Tulisan ini tak ingin memperkeruh suasana. Lagipula, siapa kita menghakimi. Lebih baik kita berefleksi. Momen ini baik untuk sejenak merenungkan bagaimana kita dapat memperkuat pemahaman dan sensitivitas kita terhadap dinamika geopolitik sekaligus menguatkan identitas kita sebagai umat Muslim Indonesia.
Sejarah singkat
Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa kebijakan global sering kali memiliki dampak yang mendalam bagi nasib suatu bangsa. Kasus-kasus seperti Deklarasi Balfour, Mandat Britania di Palestina, dan Pembagian Palestina merupakan titik balik yang menandai perubahan dramatis di Timur Tengah.
Deklarasi Balfour pada tahun 1917, yang menjanjikan pendirian “rumah bagi bangsa Yahudi” di Palestina, memicu konflik yang terus berlanjut hingga saat ini antara orang Palestina dan komunitas Yahudi di wilayah tersebut.
Mandat Britania atas Palestina setelah Perang Dunia I membuka jalan bagi pengaruh Inggris yang lebih besar di wilayah tersebut, sekaligus menimbulkan ketidakpuasan dan perlawanan dari penduduk setempat yang ingin merdeka.
Pembagian Palestina menjadi dua bagian pada tahun 1947 oleh PBB, yang mengarah pada pendirian negara Israel dan meninggalkan Palestina dalam keadaan terbagi, menjadi pemicu konflik berkepanjangan di kawasan tersebut.
Pemahaman geopolitik
Namun, di balik konflik geopolitik ini, kita juga melihat kebutuhan mendesak untuk pendidikan yang kokoh dan pemahaman yang mendalam tentang sejarah dan politik global bagi umat Islam. Sejarah menunjukkan bahwa kekhalifahan Utsmaniyah, meskipun mengelola wilayah Arab dengan relatif adil dan memberikan otonomi lokal, tidak selalu memahami atau memperhitungkan aspirasi nasionalisme di antara penduduk setempat.
Ketika Lawrence dari Arab, didukung oleh Inggris, berhasil memobilisasi suku-suku Arab untuk memberontak dengan janji kemerdekaan, hal ini mengekspos ketidaksediaan Utsmaniyah untuk menempatkan pasukan tempur yang cukup di Jazirah Arab.
Periode ini menggambarkan betapa pentingnya pemahaman yang matang akan dinamika politik global dan pemikiran strategis dalam menjaga kedaulatan dan kepentingan umat Islam di era penjajahan. Penyadaran akan kompleksitas hubungan internasional dan intervensi asing menjadi hal krusial dalam menanggapi tantangan zaman tersebut.
Keputusan strategis seperti memungkinkan migrasi besar-besaran Yahudi ke Palestina oleh Inggris pasca-Perang Dunia II, sebagai tanggapan terhadap Holocaust Nazi, menciptakan ketegangan dan konflik yang belum terselesaikan hingga hari ini.
Penting bagi umat Islam untuk belajar dari pengalaman sejarah ini, tidak hanya dalam konteks ketidakadilan yang dialami, tetapi juga dalam upaya untuk membangun pemahaman yang lebih luas tentang diplomasi internasional dan geopolitik global.
Hanya dengan pendidikan yang kuat dan kesadaran akan kompleksitas dinamika global, umat Islam dapat memainkan peran yang lebih aktif dan berdampak dalam membangun masa depan yang adil dan berkelanjutan bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Dengan itu, generasi masa depan dapat menggunakan pelajaran dari sejarah untuk merancang strategi yang lebih cerdas, membangun kepercayaan yang kuat dalam masyarakat internasional, dan membawa perdamaian serta keadilan bagi seluruh umat manusia.
Pertahankan identitas
Dalam perjalanan hidup, setiap individu akan menghadapi berbagai cobaan yang diberikan oleh Allah SWT. Cobaan tersebut bisa berupa kesulitan seperti penderitaan, atau sebaliknya, bisa berupa kesuksesan dan kenikmatan.
Bagi saya pribadi, cobaan yang datang dalam bentuk kesuksesan dan kenikmatan justru lebih berat. Ketika kita merasa doa kita untuk maju telah terjawab, sebenarnya itu adalah ujian dari Allah untuk menguji kebijaksanaan kita dalam mengambil keputusan.
Namun, banyak di antara umat Islam, termasuk orang-orang Arab, yang terpesona dengan segala sesuatu yang berbau Barat. Nama-nama keren seperti Harvard, Cambridge, pemenang hadiah Nobel, atau profesor di Yale sering kali membuat kita lupa diri. Kita terpesona dengan tawaran-tawaran yang datang tanpa menyadari identitas dan nilai-nilai yang kita bawa.
Hal serupa juga pernah terjadi pada orang-orang ningrat dari keraton Solo atau Yogyakarta di masa lalu. Mereka berpindah agama menjadi Kristen agar bisa bersekolah di sekolah-sekolah Belanda, mengikuti dansa, dan mendapatkan label keren, pintar, atau ningrat. Transformasi ini tidak hanya terjadi karena daya tarik pendidikan Barat tetapi juga karena dorongan untuk diterima dan diakui oleh budaya yang berbeda.
Metafora
Jika ingin dibuat metaforanya, situasi ini mirip dengan seorang pria Muslim yang berpenampilan biasa saja, tiba-tiba didekati oleh seorang wanita sangat cantik dan diajak makan malam berdua.
Pria tersebut mungkin berpikir bahwa kesempatan ini tidak akan datang dua kali, sehingga ia menerima ajakan tersebut tanpa berpikir panjang, bahkan melupakan istri dan anak-anak di rumah. Ketika sedang menikmati makan malam, tetangga memotret mereka dan mengirimkan foto itu ke grup WhatsApp, menghancurkan pernikahannya.
Metafora ini menggambarkan betapa mudahnya seseorang terbuai oleh godaan sementara dan melupakan tanggung jawab serta identitas aslinya.
Oleh karena itu, para gus dan nyai, terutama yang menempuh pendidikan di universitas-universitas ternama di Inggris seperti Oxford, Cambridge, UCL, Imperial, Edinburgh, dan lainnya, harus selalu mengingat jati diri mereka.
Teguh pada prinsip
Pendidikan di luar negeri memang menawarkan pengetahuan dan pengalaman berharga, tetapi penting untuk tidak melupakan akar dan identitas sebagai seorang Muslim.
Mengingat jati diri tidak berarti menolak pengetahuan atau pengalaman baru, tetapi mengintegrasikan nilai-nilai Islami ke dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam konteks pendidikan dan profesionalisme.
Pendidikan tinggi di luar negeri bisa menjadi alat untuk memperkuat keimanan dan kontribusi positif kepada umat, selama kita tetap teguh pada prinsip dan nilai-nilai kita.
Dengan demikian, cobaan kesuksesan dan kenikmatan menjadi ujian yang memerlukan kebijaksanaan dan keteguhan hati. Belajar dari pengalaman masa lalu dan menjaga identitas diri adalah kunci untuk menjalani kehidupan yang sukses tanpa kehilangan arah.
Semoga kita semua bisa menjadi individu yang bijak dan berpegang teguh pada nilai-nilai Islami, sehingga mampu menghadapi setiap ujian dengan penuh keimanan dan kebijaksanaan. (*)




