Alam Menangis di Raja Ampat: Ketika Khalifah Gagal Menjaga Alam

Pagi itu, air laut di sekitar Pulau Gag dan Pulau Manuran tidak hanya berkilau karena sinar matahari, tapi juga keruh oleh lumpur pertambangan dan limbah nikel yang meluap tanpa kendali. Berita terbaru yang viral di media sosial empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat terancam sanksi karena melanggar aturan lingkungan bukan sekadar headline biasa.

Dari PT Gag Nikel hingga PT Anugerah Surya Pratama, aktivitas mereka menciptakan sedimentasi di pesisir, merusak terumbu karang, dan mengancam keanekaragaman hayati yang menjadi kebanggaan Papua Barat Daya. Fenomena ini menjadi simbol nyata kegagalan manusia dalam menjalankan amanah sebagai khalifah di bumi, sebagaimana ditegaskan Allah dalam Al-Qur’an: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi’” (Q.S. Al-Baqarah 2:30). Ayat ini bukan sekadar narasi historis, melainkan peringatan moral tentang tanggung jawab manusia terhadap alam.

Hasil pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) pada akhir Mei 2025 menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran ini. Beberapa perusahaan beroperasi tanpa dokumen lingkungan yang lengkap, bahkan tidak memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).

Aktivitas tambang berlangsung di pulau kecil yang seharusnya dilindungi, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. PT ASP, misalnya, menambang di Pulau Manuran seluas ±746 hektare tanpa sistem manajemen lingkungan yang memadai, sementara PT Gag Nikel beroperasi di Pulau Gag dengan luas ±6.030,53 hektare.

Semua ini memicu kerusakan ekosistem yang tak tergantikan. Ayat Al-Qur’an menegaskan: “Telah nampak kerusakan di darat dan laut karena apa yang diperbuat oleh tangan manusia” (Q.S. Ar-Rūm 30:41). Perkataan ini terasa seperti laporan harian dari sungai dan pantai Raja Ampat. Situasi ini bukan sekadar isu lingkungan, tetapi juga kesehatan masyarakat.

WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa pencemaran air, sedimentasi, dan limbah logam berat dapat menimbulkan berbagai penyakit, mulai dari infeksi saluran pencernaan hingga gangguan neurologis pada anak-anak. Kajian epidemiologis membuktikan bahwa daerah pesisir yang terpapar limbah tambang cenderung memiliki prevalensi penyakit yang lebih tinggi dibanding daerah yang lingkungan alaminya terjaga.

Dengan kata lain, degradasi ekologis di Raja Ampat bukan hanya merusak habitat laut, tapi juga mengancam manusia generasi manusia yang bergantung pada ekosistem itu untuk hidup sehat. Kondisi ideal seharusnya berbeda. Pulau-pulau kecil di Raja Ampat, dengan biodiversitas tinggi dan fungsi ekologis penting, semestinya menjadi contoh pengelolaan berkelanjutan.

Moderasi (qiyās al-mizan) dalam pengambilan sumber daya alam adalah prinsip Qur’ani yang relevan: “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih” (Q.S. Al-Aʿrāf 7:31). Prinsip ini mengingatkan bahwa eksploitasi tanpa kontrol, seperti yang terjadi pada tambang nikel, melampaui batas-batas moral dan ekologis. Kebijakan pemerintah yang menindak tegas, mulai dari pembekuan IUP hingga potensi pencabutan izin lingkungan, adalah langkah menuju prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan yang Allah perintahkan.

Namun, solusi konvensional yang hanya mengandalkan pengawasan administratif sering kali tidak cukup. Proses perizinan yang lambat, sumber daya pengawasan terbatas, dan lemahnya penegakan hukum membuat pelanggaran tetap terjadi. 

Tulisan ini mengusulkan pendekatan ekoteologi futuristik, menggabungkan ajaran Qur’an, kesadaran masyarakat, teknologi hijau, dan kolaborasi multi-stakeholder untuk mencegah kerusakan lingkungan di pulau-pulau kecil. Metode yang diusulkan terdiri dari tiga pilar utama: edukasi berbasis ekoteologi, teknologi pengelolaan limbah modern, dan kebijakan partisipatif. 

Pertama, edukasi berbasis ekoteologi menanamkan kesadaran moral melalui tafsir ayat-ayat Qur’an terkait tanggung jawab khalifah, mizan, dan larangan isrāf (pemborosan). Misalnya, konsep keseimbangan (mizan) dalam Q.S. Ar-Rahmān (55:7-9) mengajarkan manusia agar tidak merusak ekosistem, sekaligus memahami bahwa setiap tindakan destruktif berdampak jangka panjang pada kesehatan manusia dan keanekaragaman hayati. Program pendidikan ini dapat diterapkan di sekolah, pesantren, dan komunitas lokal, menjadikan nilai-nilai Qur’ani sebagai kerangka etika lingkungan.

Kedua, penerapan teknologi hijau di area pertambangan wajib dilakukan. Misalnya, penggunaan biofilter untuk limbah logam berat, pengolahan air larian tambang, dan reforestasi area tambang dengan spesies lokal. Teknologi ini bukan sekadar mitigasi, tetapi investasi kesehatan lingkungan jangka panjang, mengurangi risiko penyakit terkait pencemaran, dan menjaga fungsi ekosistem laut. Prinsip ini menegaskan bahwa manusia, sebagai khalifah, bertanggung jawab atas dampak jangka panjang terhadap alam dan sesama.

Ketiga, kebijakan partisipatif melibatkan masyarakat lokal, pemerintah, akademisi, dan sektor swasta. Model ini menekankan kolaborasi dan transparansi: setiap rencana pertambangan harus melalui kajian dampak lingkungan yang melibatkan warga pulau, sementara data operasional tambang disiarkan secara publik. Hal ini mencegah monopoli informasi dan memastikan kontrol sosial, sekaligus memperkuat akuntabilitas perusahaan. Di samping itu, regulasi berbasis fatwa lingkungan yang dikeluarkan ulama setempat dapat menjadi instrumen moral tambahan, menekankan bahwa pelanggaran ekologis bukan hanya ilegal, tetapi berdosa secara agama.

Kajian kasus Raja Ampat menunjukkan bahwa pelanggaran yang terjadi bersifat sistemik, bukan kebetulan. Aktivitas PT Kawei Sejahtera Mining di Pulau Kawe menimbulkan sedimentasi di pesisir pantai karena menambang di luar izin lingkungan. PT MRP bahkan tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH, sehingga seluruh eksplorasinya dihentikan.

Fenomena ini menegaskan perlunya kombinasi pendekatan legal, moral, dan teknis untuk memastikan keberlanjutan. Pendekatan ini futuristik karena bukan sekadar reaktif terhadap pelanggaran, tetapi proaktif dalam membangun ekosistem pengawasan berkelanjutan. Selain itu, integrasi ekoteologi dengan kesehatan lingkungan membuka perspektif baru: kerusakan ekologis adalah risiko langsung bagi manusia.

WHO dan lembaga kesehatan lingkungan lainnya menyatakan bahwa pencemaran air dan tanah meningkatkan prevalensi penyakit menular dan non-menular. Dengan menggabungkan prinsip Qur’ani, masyarakat dapat melihat perlindungan lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab moral, sosial, dan kesehatan publik. Pendekatan ini lebih holistik dibanding model konvensional yang hanya fokus pada sanksi administratif.

Solusi futuristik lain adalah implementasi early warning system berbasis IoT dan sensor lingkungan di pulau-pulau kecil. Sensor ini dapat memonitor kualitas air, sedimentasi, dan polusi logam berat secara real-time, memicu alarm ketika ambang batas tercapai. Data ini dapat diakses masyarakat dan pemerintah secara terbuka, menciptakan ekosistem pengawasan kolaboratif yang berkelanjutan. Integrasi teknologi dengan prinsip Qur’ani menegaskan bahwa Islam tidak menolak sains, melainkan mendorong manusia untuk menggunakan ilmu demi kesejahteraan ciptaan-Nya.

Di tingkat ekonomi, solusi ini juga layak secara finansial. Rencana Anggaran Biaya sederhana dapat mencakup biaya instalasi sensor, sistem biofilter limbah, dan program edukasi komunitas. Sebagai contoh, alokasi dana pemerintah untuk pengawasan lingkungan dapat disinergikan dengan CSR perusahaan tambang yang diwajibkan mematuhi prinsip keberlanjutan. Dengan model ini, keberlanjutan bukan sekadar slogan, tetapi praktik nyata yang menguntungkan semua pihak.

Implementasi strategi ini membutuhkan peran stakeholder yang jelas: pemerintah pusat dan daerah sebagai regulator dan fasilitator; masyarakat lokal sebagai pengawas dan penerima manfaat; akademisi sebagai penyedia data dan analisis; dan perusahaan tambang sebagai pelaksana teknis. Prinsip ini menegaskan bahwa ekoteologi bukan hanya tafsir teks suci, tapi juga kerangka kerja sosial-ekonomi-teknis untuk menyelamatkan bumi dan manusia.

Kasus tambang nikel di Raja Ampat adalah peringatan nyata bahwa tanggung jawab khalifah bukan retorika kosong. Dengan mengintegrasikan ekoteologi Qur’ani, prinsip mizan, dan isrāf, data kesehatan lingkungan, teknologi hijau, serta kebijakan partisipatif, kita dapat membangun model pengelolaan pulau kecil yang berkelanjutan. Masa depan ekologis Indonesia tidak ditentukan oleh sanksi administratif semata, tetapi oleh kesadaran moral dan kolaborasi aktif seluruh pemangku kepentingan. 

Seperti firman Allah: “Berjalanlah di muka bumi dengan lemah lembut” (Q.S. Al-Furqān 25:63), manusia harus menjadi pelindung, bukan perusak. Jika prinsip ini diterapkan secara futuristik dan konsisten, sungai, laut, dan daratan Indonesia tidak hanya pulih, tetapi menjadi laboratorium hidup bagi generasi masa depan bukti nyata bahwa khalifah bisa menjaga bumi dengan bijak dan berkelanjutan.

Oleh: M. Hikmal Yazid (KSL YPI AL IHSAN)

Pemikiran dan Refleksi Diaspora Nahdlatul Ulama (PR Di NU) merupakan ruang bagi gagasan, refleksi, dan kontribusi intelektual dari diaspora Nahdliyyin. Platform ini menyatukan wawasan yang berakar pada keahlian masing-masing para diaspora NU yang menawarkan perspektif tentang Islam yang berlandaskan Indonesia sebagai masyarakat yang dinamis, dan tentang nilai-nilai Nahdlatul Ulama yang tetap relevan di dunia saat ini. Fokus “PR Di NU” adalah isu-isu mendesak abad ke-21, terutama di bidang Science, Technology, Engineering, dan Mathematics (STEM). Tema-tema seperti etika Islam dalam kecerdasan buatan, keberlanjutan lingkungan, kesehatan digital, energi, dan transformasi sosial berfungsi sebagai gerbang untuk memperkaya percakapan global melalui lensa Ahlussunnah wal Jama’ah. (Editor Utama: Efri Arsyad Rizal)