Relakah Jika ‘Agama’ Kita Lenyap?

Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi,

وَمَنْ تَوَاضَعَ لِغَنِيٍّ لِغِناَهُ فَقَدْ ذَهَبَ ثُلُثَا دِيْنِهِ

“Dan barangsiapa yang merendahkan dirinya di hadapan yang kaya karena kekayaannya, sungguh orang itu telah lenyap atau hilang dua pertiga agamanya.”

Hadits ini menjadi pengingat bagi kita semua agar jangan sekali-kali kita terlalu kagum, berekspektasi, bahkan na’udzubillah hingga rela merendahkan diri dan mengharap akan dunia kepada mereka, لِغَنِيٍّ لِغِناَهُ. Ini bukan hanya di hadapan individu; baik penguasa, pejabat tinggi, ataupun konglomerat saja, tetapi juga negara. Apalagi hingga berlebihan ‘memuja’ negara penjajah dan pelaku genosida. Sebab ancamannya jelas; فَقَدْ ذَهَبَ ثُلُثَا دِيْنِهِ, hilang/lenyap dua pertiga agamanya. Na’udzubillah.

Bagi kita yang hidup di negara Barat, bahkan di negeri yang sangat berperan pada pembentukan negara I5r43L; Balfour Declaration (1917), British Mandate in Palestine (1920), Partition of Palestine (1947), bukan berarti menjadikan kita menggadaikan prinsip-prinsip pokok dalam aqidah, syariat, hingga tasawuf yang dalam hal ini adalah humanity. Bukankah dalam tasawuf kita diajarkan soal ‘roso’, empati?

Dari An-Nu’man bin Bisyir dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى (رواه مسلم)

“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).”
(HR. Muslim no.4685)

Lalu bagaimana bagi orang yang bekerja dengan orang Yahudi, sementara ikut demo pro-Pal35t1na? Turut sertanya kita dalam menyuarakan tentang pembebasan Pal35t1na, baik melalui aksi turun ke jalan, di sosial media, boikot, membuat karya tulisan, buku, journal ilmiah, maupun seni untuk Pal35t1na, istighotsah, qunut nazilah, munasharah, dan penggalangan dana bukan berarti anti-Y4hud1 (anti53mit).

Sama sekali tidak! Sebab agama kita tidak anti-Y4hud1. Kita hanya anti terhadap penjajahan, pendudukan atas negara Palestina, pengusiran serta perampasan hak hidup terhadap Pal35tinian. Di mana banyak di antara Pal357inian juga beragama Yahudi dan Nasrani.

Saya dulu ikut dalam Konferensi Internasional untuk Palestina bersama rabbi-rabbi Yahudi dari UK dan US yang anti-Zi0n15me. Mereka TIDAK MENGAKUI negara I5r43L. Bahkan salah satu Rabbi yang berasal dari US kini sudah masuk Islam, alhamdulillah.

Beberapa waktu lalu, di kelas Emir, anak bungsu kami, gurunya meminta anak-anak menggambar sesuatu yang mereka inginkan. Teman-teman Emir menggambar barang-barang/benda-benda yang sedang mereka inginkan. Sedangkan Emir menggambar anak-anak P4L35t1na, bendera, dan tulisan Free P4L35t1n3. Kemudian gurunya menegur Emir, kenapa dia menggambar seperti itu bukan benda apa yang sedang dia inginkan? Gambar seperti itu tidak boleh karena termasuk t3r0r15me.

Emir menjawab dengan polos bahwa saat ini yang dia inginkan adalah “Free P4L35t1n3”. Tak puas dengan jawaban Emir, suami saya pun dipanggil dan dimintai keterangan atas gambar Emir. Suami saya menjawab bahwa kami tidak sedikit pun mendukung t3r0r15me, dan kami sangat anti-t3r0r15me. Namun kami muslim dan kami berasal dari Indonesia, yang secara officially negara kami mendukung kemerdekaan P4L35t1na.

Adapun Emir, dia ingin anak-anak di sana bisa hidup layak dan normal sepertinya. Bisa tidur, sekolah, bermain, makan, dan minum dengan normal. Alhamdulillah gurunya pun mengerti dan tersenyum. Okay alright, that’s fine.

Seorang profesor dari Belanda bertanya kepada suami saya terkait Decolonization Theory dalam bidang ekonomi yang dicetuskannya. Ketika ditanya tentang hal yang melatarbelakanginya, suami saya menjawab, bahwa selain penjajahan atas Palestina, karena dahulu kakek beliau gugur ditembak pasukan Belanda saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia bersama para santri.

Sembari meminta maaf kepada profesor yang merupakan orang Belanda asli. Namun di luar perkiraan, sang profesor bukannya marah, tetapi justru beliau menyampaikan sudah mengetahui sejarah tersebut dan memberi pujian.

Membela mazhlum (yang terzhalimi) bukan berarti antis3mit. Bahkan bagaimana toleransi dan kasih sayang Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bisa kita teladani dari uswah beliau yang setiap hari menyuapi pengemis Yahudi dengan penuh kelembutan, meski dia mencaci-maki Rasulullah. Hingga kemudian rahmah yang ditebar Rasulullah menjadi washilah baginya masuk Islam di hadapan Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Selama kita bermuamalah dengan baik dengan mereka, tak menzhalimi mereka, tak mengganggu ibadah mereka, menghormati hak mereka, itu sudah baik.
Toleransi ada aturannya, tak perlu kita kegenitan hingga melampaui batas.

Al’afwu minkum.
Wallahu a’lam bishshawab.
Ihdinash shirathal mustaqim…

اللهم صل على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم.

PrayforPalestine

FreePalestine

Asti Latifa Sofi, Ustadzah, Southampton, UK