Membumikan Diskursus Islam Indonesia di Inggris Raya

ISLAM di Inggris Raya atau United Kingdom (UK) terus menguat beberapa dekade terakhir. Di London, semenjak era Wali Kota Sadiq Khan, hiasan lampu di Coventry Street dekat Picadilly Circus menghiasi kota saat Ramadan tiba dan sebagai penanda perayaan momen penting umat Islam di jantung ibu kota Inggris itu. Hiasan tersebut juga menjadi angin segar bagi umat Islam yang semakin diterima di Barat.

Yang mutakhir, Eid in the Square kembali diselenggarakan di Trafalgar Square-kira-kira Monas-nya London. Tradisi yang telah ada sejak 2006-an itu menjadi ajang selebrasi Kemenangan Hari Raya Idul Fitri. Berbagai perwakilan umat Islam tampil menunjukkan tradisi keislaman mereka dari musik hingga tarian.

Tahun ini, Sabtu, 20 April lalu, ialah ke-dua kalinya ibu-ibu muslimat Nahdlatul Ulama UK tampil di publik internasional dalam ajang tersebut dengan menampilkan rebana lengkap dengan lantunan selawat khas tradisi Indonesia.

Fenomena itu jelas merefleksikan pe­luang untuk menghadirkan diskursus agama yang tidak ‘Barat sentris’ saja, khususnya di Britania Raya. Diketahui, diskursus agama di Barat sering diposisikan secara negatif dengan, misalnya, dibenturkan dengan politik, sains, atau ekonomi (Hurd, 2004).

Dari Indonesia, Islam Nusantara atau Islam khas Indonesia dengan toleransi serta kultur budayanya menjadi tawaran yang menarik untuk memperkaya khazanah Islam, khususnya di UK.

Diskursus agama di Barat

Diskursus ‘agama’ di Barat umumnya selalu dipisahkan dengan ‘negara’ atau yang biasa dikenal dengan istilah ‘sekularisme’. Amerika Serikat dan UK merupakan salah satu contoh negara yang menerapkan sistem itu.

Namun, ada beberapa ahli yang menentang gagasan sekularisme itu. Mereka yang kontra menyebut bahwa agama perlu dikaji ulang pada praktiknya di abad ke-21. Meski demikian, diskursus itu selalu menjadi pembahasan utama dalam diskursus agama dan menjadi konstruksi berpikir Barat hingga saat ini.

Diskursus lainnya ialah nasionalis-religius yang dipahami sebagai penantang sekularisme. Nasionalis-religius sudah muncul sejak dekade kedua abad 20. Salah satu contohnya ialah munculnya Revolusi Islam di Iran pada 1978 (Juergensmeyer, 2019). Nasionalis-religius menjadi respons kekurangan-kekurangan standar politik global dan konstruksi nasionalisme yang umumnya hanya ditentukan Eropa dan Amerika.

Selain sekularisme dan nasionalis-religius, diskursus agama yang juga menjadi pemba- hasan utama di Barat ialah adanya tiga tipologi beragama: ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme (Hick, 1990).

Eksklusivisme ialah pe- mahaman yang mengang- gap dirinyalah yang paling benar dan yang berbeda dianggap sesat atau kafir. Inklusivisme meya­kini pemahamannya ialah benar. Yang kedua ini tidak menyesatkan yang berbeda keyakinan.

Terakhir, pluralisme ialah paham yang lebih menekankan terhadap pengalaman dan konsep pribadi terhadap Tuhan atau semua agama dianggap sama, mengajarkan kebaikan dan memiliki dampak positif bagi setiap individu. Konsep-konsep tersebut menjadi sedikit gambaran bagaimana agama dibahas di Barat setidaknya hingga abad ini.

Diskursus Islam Indonesia

Bagaimana dengan diskursus ‘agama’ di Indonesia? ‘Moderasi beragama’ menjadi salah satu topik yang sering dibahas dan termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sejak era Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI 2014-2019. Moderasi beragama hadir sebagai sebuah usaha agar sebagai umat beragama memahami agama dengan mengambil jalan tengah, tidak terlalu ekstrem (kanan) dan tidak terlalu liberal (kiri).

Dalam perkuliahan religion in contemporary global politics dan religious-nationalism, saya sering menyampaikan bahwa pengalaman beragama masyarakat Indonesia tidak hanya diterapkan secara teoretis, tetapi lebih secara praktis.

Jika melihat sejarah, masyarakat Indonesia malah sudah sangat dewasa dalam praktik moderasi beragama: toleransi antarumat, mengakomodasi budaya lokal, antikekerasan, dan memiliki sifat nasionalis.

Sebagai seorang muslim Bali, saya akan memberikan contoh kecil toleransi di Bali. Islam datang ke Pulau Dewata pada abad 15. Saat itu 40 pengawal muslim mengawal Raja Gelgel, Dalem Ketut Ngelesir (1380-1460), setelah menghadiri rapat pada era Kerajaan Majapahit. Sesampainya di Bali, pengawal-pengawal itu menetap di sebuah desa yang bernama Kampung Gelgel atas persetujuan raja. Mereka kawin-mawin dengan penduduk lokal (Hindu) dan memiliki keturunan.

Seiring dengan berjalannya waktu, muslim di desa tersebut semakin berkembang dan bisa beradaptasi hingga diterima masyarakat Hindu Bali dengan saling toleransi dan menghormati antarsesama meskipun berbeda keyakinan hingga sekarang.

Islam Indonesia dan UK

Mengadakan kolaborasi jangka panjang antara muslim Indonesia dan United Kingdom dapat menjadi salah satu cara untuk membumikan Islam Nusantara serta momen saling belajar tentang keberagamaan antardua negara. Salah satu yang bisa dilakukan para stakeholder Indonesia ialah kerja sama dengan, misalnya, Association of British Muslims, sebuah organisasi muslim tertua serta berpengaruh di Inggris sejak 1889.

Managing director-nya saat ini, Paul Salahuddin Armstrong, orang muslim Inggris totok yang juga menjadi muslim chaplain di University of Birmingham. Paul, sapaan akrabnya, menyayangkan mengapa Islam versi Indonesia, wa bil khusus, Islam Nusantara yang menarik dan kaya itu, tidak masif disosialisasikan di Inggris.

Salah satu harapan Paul ialah ormas-ormas Islam Indonesia dapat hadir di UK. Nahdlatul Ulama, misalnya, telah diketahui hadir di UK sekitar dua dekade. Sayangnya, organisasi yang besar dan memiliki anggota lebih dari setengah penduduk Indonesia itu belum menjadi organisasi legal di Inggris. Kondisi itu tak hanya dialami NU. Muhammadiyah UK pun demikian.

Ormas-ormas representasi Islam Nusantara itu memiliki potensi kerja sama yang sangat besar dengan para stakeholder di UK. Nahdlatul Ulama dapat menjadi salah satu representasi ormas Islam Indonesia yang dapat mempromosikan Islam moderat di Barat dan masyarakat Inggris akan lebih mengenal muslim Indonesia di UK.

Selain itu, sebagai contoh, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama United Kingdom (PCINU UK) bisa mengadakan pertukaran atau studi banding antar ulama yang bisa menjadi peluang saling belajar dan mengenal antarpemahaman agama dan budaya kedua negara.

Sebagai tambahan informasi, di Inggris Raya, sebuah organisasi harus terdaftar agar diakui keberadaannya dan dengan pengakuan tersebut program-programnya legal dilaksanakan dan mendapat perlindungan dari pemerintah.

The Suffa Foundation bisa menjadi contoh. Organisasi amal dan pendidikan yang berasal dari Malaysia itu memiliki misi mengampanyekan Islam Nusantara. Ia sudah terdaftar pada Komisi Amal Inggris dan Wales (Charity Comission for England and Wales) pada 22 November 2019 lalu. Beberapa kegiatannya ialah pelayanan masyarakat dan mengadakan kajian Islam online yang terstruktur.

Ormas-ormas Islam Indonesia yang berada di UK punya peluang yang sama. Dengan mendaftarkan organisasi mereka pada komisi amal tersebut, Nahdlatul Ulama UK, misalnya, bisa memaksimalkan berbagai potensi sumber daya manusia dan kekayaan khazanahnya untuk mempromosikan Islam moderat di ‘Bumi Raja Charles’ itu.

Salah satu opsi kegiatannya, sebagai contoh, bisa lewat mengadakan konferensi internasional Islam Indonesia and United Kingdom yang membahas Islam Nusantara dan Islam Inggris.

Dengan program itu, Islam Indonesia akan meramaikan dan menjadi penyeimbang berbagai kegiatan dan narasi Islam yang telah ada di UK. Diketahui, representasi muslim di Inggris lebih didominasi dari Arab, India, Bangladesh, Pakistan, atau dari Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Antitesis narasi

Dalam satu kunjungannya ke London, Prof Mukhsin Jamil, Guru Besar Pemikiran Islam UIN Walisongo Semarang, berinisiatif memulai kerja sama dengan kampus-kampus di United Kingdom seperti mengadakan riset kolaborasi dan konferensi internasional. Selain ormas Islam Indonesia, inisiatif UIN Walisongo Semarang itu dapat menjadi representasi kerja sama yang dilakukan stakeholder Indonesia.

Negara Indonesia sudah selayaknya makin mendunia dengan Islam Nusantara-nya. Mengenalkan Islam ala Indonesia di Inggris tentunya akan menambah keragaman perspektif tentang Islam yang moderat yang bisa selaras dengan nilai-nilai budaya lokal.
Islam Nusantara akan menjadi diskursus agama penyeimbang sekaligus penguat antitesis narasi Islam yang sering dianggap sebagai sumber kekerasan dan konflik dalam diskursus agama di Barat. PCINU UK dan stake-holder di Indonesia ada baiknya bisa segera berkolaborasi untuk segera menginisiasi kegiatan-kegiatan seperti itu. Patut ditunggu!

Efri Arsyad Rizal, Wakil Ketua PCINU United Kingdom, Mahasiswa Magister Theology and Religion University of Birmingham, UK

Artikel ini pertama kali terbit di rubrik opini Media Indonesia 21/6/2024