“Masyarakat kita yang sangat mudah silau oleh gelar (dan jabatan) berpikir yang penting dapat gelarnya. Perjuangan dan pelajaran yang didapat di balik gelar menjadi nomor sekian.” (Susanto, 2016, hal. 84-88)
Bapak (saya) adalah orang pertama yang mengajarkan saya unsur ketiga dari butir ketujuh Dasa Darma Pramuka yang berbunyi “Hemat, Cermat, dan Bersahaja”. Bapak lulusan SD dan tidak tamat sekolah SMP. Ketika saya menginjak bangku SMA, beliau pernah berpesan bila nanti lulus sekolah dan melanjutkan ke perguruan tinggi, tidak perlu menyebut diri sedang kuliah. Cukup sekolah.
Pesan ini berulang kali beliau sampaikan. Gara-gara beliau pernah salah lidah dalam bertanya kepada seorang mahasiswa, “Sekolahnya di mana, Mas/Mbak?” yang kemudian dijawab, “Saya sudah kuliah, Pak, di perguruan tinggi xxxx.”
Ketika saya masuk kuliah, lagi-lagi beliau memberi pesan yang sama walau agak sedikit berbeda, “Nanti kalau sudah lulus, tidak usah pakai gelar“. Di kota, orang biasa membuat papan nama di atas pintu rumah, yang ditulis lengkap dengan gelar di depan atau di belakang namanya.
Tamu yang datang seakan-akan dikasih tahu terlebih dahulu bahwa si pemilik rumah orangnya pernah kuliah atau pernah pergi haji. Jadi, Para Tamu, jangan sampai salah sikap atau salah sebut.
Maksud pesan bapak saya tentu saja supaya saya menggunakan gelar di tempat yang wajar dan seharusnya. Di dalam kampus suatu hal yang lumrah bila anggota civitas akademika menggunakan gelar pendidikan masing-masing. Walaupun demikian pengalaman menarik saya alami dari dosen wali saya. Beliau lulusan S3 dari the University of Wisconsin, Madison, salah satu kampus papan atas di Amerika.
Ketika mengisi kartu rencana studi pertama kali, saya menulis nama ’Dr Ahmad Muchlis’ di bawah tulisan ’Dosen Wali’. Ketika mengajukan kartu tersebut, beliau mencoret kata ’Dr’ dan berkata, ’Nama saya tidak ada Dr-nya.’ Saya kaget waktu itu karena perkataan beliau mengingatkan saya kepada pesan bapak. Pesan yang membekas sekali. Kerendah hatian memang menawan hati.
Sayangnya masyarakat kita tidak mempunyai pendapat yang sama. Gelar pendidikan dianggap sebagai petunjuk status sosial pemiliknya yang tidak rendah. Keberhasilan mendapatkan gelar membawa kebanggaan yang luar biasa.
Karena itu bukan hal yang aneh bila orang yang berhasil menyelesaikan studi disambut pihak keluarga bagaikan pahlawan yang baru kembali dari medan laga. Baliho besar di ujung jalan pun disiapkan. Bahkan bila perlu ucapan selamat ditulis di koran-koran.
Masyarakat kita sangat mudah silau oleh gelar (dan jabatan). Mereka berpikir yang penting gelarnya. Perjuangan dan pelajaran yang didapat di balik gelar menjadi nomor sekian.
Meningkatnya kebutuhan akan gelar itu tercium sebagai ladang bisnis yang menggiurkan oleh lembaga-lembaga pemberi gelar palsu di luar negeri. Akhirnya awal tahun 2000-an berdatangan sebagian dari mereka, bekerja sama dengan orang-orang kita sendiri yang menyebut dirinya Institut Manajemen Global Indonesia (IMGI).
Mereka tidak malu dan ragu-ragu untuk memasang iklan di koran nasional beserta harga yang dibandrol per-gelar dan tingkatan. Bahkan acara wisuda yang dihadiri begitu banyak orang pun disiarkan yang menunjukkan begitu banyak peminat gelar yang ditawarkan. Dapat dipastikan uang mengalir dengan kencang ke kantong lembaga-lembaga itu.
Menariknya, tidak hanya masyarakat umum yang tergoda untuk mendapatkan gelar, tapi juga artis. Lebih menyedihkan dan mengecewakan lagi, salah satu artis yang mendapatkan gelar palsu itu adalah Rhoma Irama.
Rhoma menerima gelar ‘Prof Dr Honoris Causa’ dalam bidang musik dari American University of Hawaii (AUH) Amerika, di Jakarta pada 2005 yang wisudanya disiarkan oleh beberapa infotainment. Sebagai anggota MARIMAS (PenggeMAr Rhoma IraMA dan Soneta) luar dalam, waktu itu saya sedih sekali.
Tidak berapa lama kritik-kritik pun berdatangan, tapi Rhoma acuh dengan pendiriannya. Di milis-milis fans para penggemar Sang Raja membela. Mereka tidak terima Rhoma dikatakan menerima gelar palsu karena sampai sekarang pun tidak ada lembaga pemerintah berwenang yang menyatakan ijazah yang diterima palsu.
Menanggapi pembelaan seperti itu, saya hanya menyampaikan bahwa [waktu itu] memang belum ada lembaga resmi yang memutuskan tidak sahnya gelar yang diberikan kepada Bang Haji. Dengan demikian tiap orang punya hak penuh untuk membuat kartu atau papan nama bertuliskan Prof. Dr. Nama Anu S.Si. M.Sc. dengan ijazah palsu atau bahkan tanpa ijazah sekalipun selama gelar atau ijazah itu tidak digunakan untuk berurusan dengan orang lain yang mensyaratkan gelar pendidikan tersebut.
Ketika ini dilanggar, maka yang bersangkutan akan berurusan dengan polisi karena sudah terjadi tindak penipuan yang saya yakin sangat tidak mungkin terjadi untuk kasus Bang Haji.
Di Hawaii sendiri, AUH sudah dinyatakan ilegal sejak tahun 2005. Lembaga tersebut diwajibkan untuk mengganti biaya yang dikeluarkan oleh penerima ijazah bila ada yang mengembalikan ijazahnya. Sejak keputusan pengadilan, AUH (American University of Hawaii) telah berganti nama menjadi American University for Humanities yang kemudian dituliskan berlokasi di Tbilisi, Georgia (sebuah negara terpencil di Eropa).
Saya yakin Rhoma tidak meminta dan tidak membayar untuk gelar tersebut. Dia hanya menerima. Tapi sayangnya beliau tidak sadar telah dimanfaatkan sebagai iklan gratis perusahaan penghasil gelar itu.
Pada akhirnya kekecewaan saya terobati dengan menyadari bahwa Pak Haji juga manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan. Kata Aa Gym, “Jangan pernah berharap kepada manusia karena pasti akan kecewa.” Nasehat yang tepat untuk saya.
Sekarang, sekitar 20 tahun kemudian, peminat gelar dan jabatan instan bergeser: dari para artis menjadi para politisi; dari kampus abal-abal menjadi kampus resmi. Lumrahnya sih ada negosiasi antara penerima dan pemberi. Simbiosis mutualisme.
Sampai kapan fenomena ini? Ya biasanya sampai titik jenuh.
Padahal normalnya sih harusnya malu: bermodal foto wisata, kemana-mana mengaku penyelam professional.
Hadi Susanto, Associate Chair for Graduate Studies Mathematics Khalifa University,




