Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memerankan diplomasi damai yang strategis bagi Indonesia, serta diakui di level internasional. Peran kedua organisasi ini dalam menggerakkan perjuangan kemerdekaan pada paruh pertama abad 20, menginspirasi gerakan yang meluas untuk mewujudkan kedaulatan Indonesia. Pada masa kini, peran strategis yang dimainkan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menjadi inspirasi gerakan perdamaian global untuk mendorong lahirnya politik berbasis kemanusiaan.
Pada awal Februari 2024 lalu, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mendapatkan anugerah Zayed Award for Human Fraternity di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH. Yahya Cholil Staquf dan Ketua Umum PP Muhammadiyah KH. Haedar Nashir hadir secara langsung untuk menerima penghargaam tersebut. Zayed Award dianggap sebagai nobel perdamaian Asia, yang menjadi penghargaan bergengsi untuk perjuangan kemanusiaan global.
Selain NU dan Muhammadiyah, Professor Sir Magdi Yacoub (ahli bedah jantung dari Mesir), dan Sister Nelly Leon Correa juga menerima penghargaan ini. Zayed Award merupakan penghargaan penting, yang merupakan kelanjutan dari penandatangan dokumen persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia, pada 4 Februari 2019 lalu. Dokumen bersejarah ini ditanda tangani oleh Grand Syaikh al-Azhar Ahmed al-Tayeb dan pemimpin Gereja Katolik Paus Fransiskus.
Pada tahun ini, Zayed Award melalui proses penilain dari beberapa dewan juri. Di antaranya: Kardinal Leonardo Sandri (Prefect Emeritus of the Holy See Dicastery for Oriental Churces), Rebecca Grynspan Mayufis (Secretary General of the United Nation Conference on Trade and Development/UNTAC), Irina Bokova (former Secretary General of UNESCO), Rabbi Abraham Cooper (Chair of the US Commission on International Religious Freedom), dan Mohamed Abdelsalam (Secretary General of Zayed Award for Human Fraternity and Secretary General of the Muslim Council of Elders).
Dalam rangkaian resepsi penghargaan ini, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH. Yahya Cholil Staquf menyampaikan betapa Nahdlatul Ulama selama ini mengajak kolaborasi banyak pihak untuk bersama-sama membangun gerakan global, untuk tujuan perdamaian dan kemanusiaan. “Saya juga ingin mengambil kesempatan ini untuk mengundang orang-orang yang beriktikad baik dari setiap agama dan negara untuk bergabung bersama kami dalam membangun gerakan global untuk mendorong munculnya tatanan dunia yang benar-benar adil dan harmonis berdasarkan penghormatan terhadap persamaan hak dan martabat setiap umat manusia,” demikian pernyataan KH. Yahya C Staquf.
Sementara, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir mengungkapkan ucapan terima kasih atas penghargaan Zayed Award, serta mempersembahkan untuk pekerja kemanusian global.
Menanggapi penghargaan terhadap NU dan Muhammadiyah, Wakil Presiden RI KH. Ma’ruf Amin bahwa model toleransi Indonesia sudah menjadi contoh yang bagus serta diakui di dunia internasional. “Model toleransi dari Indonesia memang sekarang sudah menjadi contoh bagi dunia. Indonesia dengan penduduk yang sangat besar dengan keragaman dan kita bisa membangun toleransi di antara bangsa kita menjadi bangsa yang kita jaga keutuhannya persatuannya,” terangnya.
Lebih lanjut, KH. Ma’ruf Amin juga mengapresiasi Presiden Timor Leste Ramos-Horta, agar NU dan Muhammadiyah juga diusulkan untuk mendapatkan penghargaan Nobel. “Dalam sambutannya, Presiden Timor Leste Ramos-Horta, mengusulan supaya dua organisasi ini diberikan hadiah nobel karena perannya cukup besar dalam rangka membangun toleransi,” demikian pernyataan Wakil Presiden RI, yang menghadiri resepsi anugerah Zayed Award di Abu Dhabi, awal Februari 2024 lalu.
Diplomasi kemanusiaan
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sudah berkali-kali mendapatkan penghargaan dan pengakuan di level internasional. Para pemimpin NU dan Muhammadiyah, juga sering berdialog dengan tokoh agama dan policy maker internasional, dari Amerika Serikat, Vatikan, Israel, China, Rusia hingga berbagai ulama Timur Tengah.
Tentu saja, ini menjadi langkah dan kontribusi penting untuk terus mendorong kontribusi internasional dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kontribusi ini juga menjadi wajah dari Islam Indonesia di panggung internasional, sekaligus memberi wajah baru bagaimana Islam memaknai perkembangan global. NU dan Muhammadiyah yang diakui di ranah internasional, juga menyembuhkan luka batin publik global dalam memaknai Islam. Jika sebelumnya narasi besar masih berkelindan pada isu terorisme dan kekerasan. Dengan langkah-langkah kongkret yang dilakukan oleh NU, Muhammadiyah dan Lembaga keagamaan internasional yang berorientasi pada perdamaian, menjadikan Islam di ruang publik global menjadi lebih teduh.
Kerja nyata NU dan Muhammadiyah dalam menjembatani konflik-konflik internasional juga menjadi sangat penting sebagai kontribusi gerakan Islam. Upaya-upaya yang dilakukan dalam isu Xinjiang, kekerasan di Mindanao Filiphina, perdamaian dalam perang Rusia-Ukraina, serta upaya untuk negosiasi damai Israel-Palestina juga menjadi langkah nyata dari kedua organisasi ini. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, Nahdlatul Ulama memainkan peran strategis dalam diplomasi internasional, dengan mengajak agamawan penting dan policy maker untuk diskusi bersama mencari solusi atas problem-problem kemanusiaan internasional.
Nahdlatul Ulama bersama pemerintah Indonesia dan Moslem World League, telah menyelenggarakan Religion 20 (R-20) pada November 2022 di Bali. Forum ini kemudian disusul oleh International Conference on Fiqh Civilization (Februari 2023), ASEAN IIDC (Agustus 2023), serta forum Religion 20 ISORA (International Summit of Religious Authorities) pada November 2023 lalu. Nahdlatul Ulama bersama Kemenlu dan Kementerian Agama juga menyelenggarakan Konferensi Moderasi Beragama Asia Afrika dan Amerika Latin (KMB AAA) di Bandung, Desember 2023 lalu. Narasi penting dari pelbagai forum internasional yang diselenggarakan, berhasil mengkonsolidasi agamawan terkemuka dari lintas negara dan policy maker, untuk mencari solusi strategis guna menjawab masalah-masalah kemanusiaan yang terjadi secara global.
Langkah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah ini menjadi bagian dari diplomasi publik yang dimainkan secara penting oleh non-state actor. Gerakan strategisnya dalam upaya mencari jalan baru dalam negosiasi konflik internasional, serta mencari cara mengkonsolidasi kekuatan di luar jalur negara, memberikan kontribusi nyata sebagai penguat ‘second track diplomacy’ yang komplementer dengan apa yang sudah dikerjakan oleh diplomat negara.
Strategi Diplomasi Publik
Kontribusi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menjadi diskursus penting dalam kajian diplomasi publik, maupun konsepsi soft power diplomacy. Di kalangan akademik, soft power diplomacy dan diplomasi publik menjadi bahan diskusi yang cukup intens dalam beberapa dekade terakhir, untuk memetakan masa depan diplomasi sekaligus strateginya di level internasional. Joseph Nye (2004) mengajukan tesis ‘soft power diplomacy’ sebagai bagian penting dari diplomasi internasional pada masa kini, di mana strategi tidak hanya dimainkan oleh satu pihak tunggal dari unsur negara, namun juga dengan berbagai dimensi yang juga melibatkan aktor non-negara. Dalam konteks ini, soft power diplomacy terkoneksi dengan diplomasi publik dimana peran non-state actor juga teraktualisasi menjadi tujuan yang kadang, atau bahkan sering beriringan dengan target diplomasi dari negara.
Jan Melissen (2005), mengartikulasikan gagasan tentang pentingnya diplomasi publik dalam karyanya, the New Public Diplomacy: Soft Power in International Relations. Dalam pandangan Melissen, soft power diplomacy berkait erat dengan diplomasi publik, bahkan sering berkelindan dalam proses dan konteksnya. Tentu saja, perdebatan akademik juga muncul terkait bagaimana peneliti mengkaji soft power juga sebagai ‘power’ yang dimainkan oleh negara. Bahkan, dalam diskusi intensif saya dengan Prof Ian Hall (Griffith University) di Canberra beberapa bulan lalu, menyoroti betapa soft-power dalam konteks diplomacy itu juga sesuatu yang abstrak, yang sepertinya juga menjadi bagian dari ‘hard power’ yang dimainkan oleh negara.
Dalam konteks ini, saya ingin mengajukan pernyataan bahwa secara akademik, apa yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam spektrum perdamaian internasional, juga sudah dibaca sebagai bagian dari strategi penting untuk mengelola jalur diplomasi dari luar trajektori yang selama ini dimainkan oleh negara. Bahkan, peran dari non-state actor, dalam konteks Indonesia oleh NU dan Muhammadiyah, telah memberi warna penting dalam strategi diplomasi internasional. Secara khusus, kontribusi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah secara komplementer beriringan dengan strategi diplomasi yang dimainkan oleh negara, yang dikomando Ibu Menlu Retno L Marsudi atas arahan Presiden Joko Widodo.
Penghargaan Zayed Award untuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, menjadi cermin betapa kontribusi kedua organisasi ini diakui oleh dunia internasional. Kedua kader organsiasi ini, perlu terus berkonsolidasi untuk bersama-sama menguatkan moderasi, toleransi, dan perdamaian di dalam negeri, yang muaranya juga menjadi cermin di level internasional. Ke depan, bukan tidak mungkin NU dan Muhammadiyah akan mendapatkan Nobel perdamaian. Namun, sekali lagi, penghargaan hanyalah kepingan jejak dari ‘khidmah’. Tugas kita sebenarnya adalah bekerja untuk kemanusiaan, sebaik-baiknya menghadirkan kemaslahatan publik (mashlahah ‘ammah) ( (*)
Munawir Aziz, Kader Muda NU, the American Institute for Indonesian Studies (AIFIS) Fellows & Australia Indonesia Moslem Exchange Programme (AIMEP) 2023 Delegate.
Artikel ini pertama kali terbit di rubrik opini Media Indonesia 22/3/2024




