Perdamaian Gaza tuntut keseriusan pemerintah negara besar

London – Konflik Israel-Palestina telah menjangkau berbagai sudut dunia, tentu tak terlepas di Inggris Raya. Berbagai demonstrasi dan diskusi diselenggarakan untuk mencari jalan keluar. Salah satunya adalah diskusi bertajuk Developing Honest Dialogues between British Muslim and British Jews. Acara ini diselenggarakan di The Jubilee Room, Westminster Hall, The Houses of Parliament, Britania Raya, 23 Januari 2024 lalu.

Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama UK (PCINU UK) hadir atas undangan Paul Armstrong, ketua British Muslim Association. Hadir mewakili PCINU dr. Fahad Mahfud dan rekannya Fajrun Muharram. Keduanya merupakan kader PCINU UK sekaligus mahasiswa magister di University College London.

Acara dibuka dengan sambutan dari Paul Amrstrong sebagai perwakilan komunitas Muslim dan Harry Markham dari Yahudi. Sambutan dilanjutkan oleh Fiona Bruce yang merupakan utusan Perdana Menteri Inggris untuk urusan freedom of belief and religion dilanjutkan dengan sesi dialog.

Pertemuan dan diskusi tersebut fokus kepada kehidupan beragama di UK dan kaitannya dengan konflik yang terjadi saat ini di Gaza. Diskusi tidak fokus pada isu-isu teknis peperangan, namun lebih kepada dampak sosial terhadap simpang siurnya informasi. Salah satu perhatiannya adalah bagaimana masa depan anak-anak di Uk agar tidak terkspose paham-paham ekstrimisme namun tetap punya daya kritis dan toleransi yang relevan.

Fahad menyampaikan bahwa antusiasme peserta diskusi sangat tinggi, hingga ia tak sempat mendapatkan kesempatan bicara. Namun baginya, acara tersebut tetaplah menarik dan memberikan banyak informasi yang relevan khususnya dalam konteks UK.

Menurutnya, forum seperti itu perlu lebih banyak diselenggarakan mengingat diskusinya sangat up-to-date. Sebab, terlepas dari isu perang di Gaza, keberadaan Islam sebagai minoritas di Eropa secara umum perlu terus mendapat perhatian. Forum tersebut membuktikan bahwa keamanan umat Muslim di Benua Biru relatif terjamin.

Fahad mendukung kegiatan-kegiatan dan dialog positif termasuk terkait isu Islam dan Yahudi. Akan tetapi, diskusi kontrukstif tersebut harus senantiasa dikuatkan dengan masuknya peran pemerintah—sebagaimana telah diinisasi oleh Paul.

Baginya, sayangnya, segetol apapun kita promosi perdamaian, kalau pemerintah tidak dukung dan dengan nyata membantu proses perdamaian tersebut lewat berbagai kebijakan terkait, hasilnya akan sia-sia. Keseriusan pemerintah negara-negara besar termasuk UK masih nihil.

Di bidang risetnya, perihal gizi misalnya. Ia belajar dari professor pembimbingnya bahwa sebagus apapun ilmu gizi kita, sekolah gizi kita, buku pedoman kita, tapi kalau pemerintah tidak mendukung, ujungnya masalah gizi tak akan terselesaikan.

Jadinya, kembali ke isu perdamaian dan perang di Gaza, percuma kita berdiskusi siang malam soal perdamaian, tapi dampaknya masih belum optimal. Buktinya, karena keengganan pemerintah negara-negara besar untuk mendamaikan, Israel yang kecil senantiasa kebal dari tuduhan dan bahkan putusan dari International Court of Justice yang didukung oleh puluhan negara.

Terlepas dari itu, acara di Gedung Parlemen Inggris tersebut bisa terbilang sukses. Mereka yang datang tidak ‘kaleng-kaleng’. Ada beberapa imam, pendeta, dan rabbi yang datang. Hadir juga, misalnya, beberapa dokter medis, jurnalis, dan mereka yang sebelumnya pernah bekerja di Gaza maupun Tepi Barat. (*)